ULAT GRAYAK
Biologi Hama
Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum
: Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo
: Lepidoptera
Famili : Noctuidae
Genus : Spodoptera
Spesies : Spodoptera litura F.
Ulat grayak Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae) adalah hama yang
sering menimbulkan kerusakan pada pertanaman kedelai di Indonesia, khususnya
pada musim kemarau. Serangan ulat grayak pada fase pertumbuhan vegetatif mampu
menurunkan hasil sampai dengan 80%, sehingga ulat grayak dipandang sebagai
salah satu kendala produksi kedelai. Hama ini tersebar luas khususnya di daerah
yang beriklim panas dan lembab, dari subtropis sampai daerah tropis. Informasi
luas, intensitas serangan, dan kehilangan hasil karena ulat grayak masih
terbatas, dan belum tercatat dengan baik. Pada tahun 2009 di KP Muneng terjadi
defoliasi/kerusakan daun dan kehilangan hasil hingga 100%. Populasi ulat grayak di beberapa sentra
produksi kedelai di Jawa Timur, yaitu di kabupaten Jombang, Ponorogo, Pasuruan,
dan Banyuwangi telah berkembang menjadi
tahan terhadap insektisida golongan endosulfan dan dekametrin yang digunakan
petani secara terus menerus (Marwoto dan Bedjo
1996).
Biologi
Telur berbentuk hampir bulat dengan
bagian datar melekat pada daun (kadang-kadang tersusun dua lapis, berwarna
coklat kekuning-kuningan diletakkan berkelompok (masing-masing berisi 25-500
butir). Kelompok telur
tertutup bulu seperti beludru yang berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung
ngengat betina. Lama stadium telur 3-5
hari setelah diletakkan
(Sudarmo, 1992). Ulat yang baru
menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam
kecoklat-coklatan dan hidup berkelompok. Umumnya larva mempunyai titik hitam
arah lateral pada setiap abdomen.Ulat
membuat lubang pada daun. Siang hari bersembunyi dalam tanah (tempat yang
lembab) dan menyerang tanaman pada malam hari lama stadium larva 6 – 13 hari (Kalshoven
1981). Pupa berwarna kecoklatan berada dalam tanah atau pasir. Pada bagian
ventral, abdomen segmen terakhir pupa jantan, dijumpai dua titik yang agak
berjauhan. Titik yang ada di sebelah atas adalah calon alat kelamin jantan sedang titik yang di bawahnya adalah calon
anus. Pupa betina mempunyai dua titik yang saling perdekatan (Sudarmo, 1992). Larva berkepompong dalam tanah atau pasir.
Membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon) berwarna coklat kemerahan dan berkisar
1.6 cm. Lama stadium larva 10 – 14
hari (Erwin, 2000). Sayap ngengat bagian depan berwarna coklat
atau keperak-perakan, sayap
belakang berwarna keputih-putihan
dengan bercak hitam . Malam hari ngengat dapat terbang sejauh lima kilometer.
Seekor ngengat betina dapat meletakkan 2000-3000 telur (Ardiansyah, 2007).
Dengan masa peletakan telur 2 – 6 hari dan lama stadium imago yaittu 5 – 9 hari
(Sudarmo, 1992).
EKOBIOLOGI ULATGRAYAK
Dalam sistematika klasifikasi, ulat
grayak termasuk dalam ordo Lepidoptera, family Noctuidae, genus Spodoptera dan
spesies litura. Hama ini bersifat polifag atau mempunyai kisaran inang yang
cukup luas atau banyak inang, sehingga agak sulit dikendalikan. Strategi
pengendalian hama yang efektif dapat disusun dengan mem-pelajari bioekologi
hama.
Morfologi dan Biologi
Sayap ngengat bagian depan berwarna coklat
atau keperakan, dan sayap belakang berwarna keputihan dengan bercak hitam (Gambar
1c). Kemampuan terbang ngengat pada malam hari mencapai 5 km.
Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian
dasar melekat pada daun kadang-kadang tersusun dua lapis), berwarna coklat kekuningan,
diletakkan berkelompok masing-masing 25−500 butir. Telur diletakkan pada bagian
daun atau bagian tanaman lainnya, baik pada tanaman inang maupun bukan inang.
Bentuk telur bervariasi. Kelompok telur tertutup bulu seperti beludru yang
berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung ngengat betina, berwarna kuning
kecoklatan.
Larva mempunyai warna yang
ber-variasi, memiliki kalung (bulan sabit) berwarna hitam pada segmen abdomen keempat
dan kesepuluh (Gambar 1b). Pada sisi lateral dorsal terdapat garis kuning. Ulat
yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklatan,
dan hidup berkelompok (Gambar 1a). Beberapa hari setelah menetas (bergantung
ketersediaan makanan), larva menyebar dengan menggunakan benang sutera dari
mulutnya. Pada siang hari, larva bersembunyi di dalam tanah atau tempat yang
lembap dan menyerang tanaman pada malam hari atau pada intensitas cahaya
matahari yang rendah. Biasanya ulat berpindah ke tanaman lain secara
bergerombol dalam jumlah besar.
Warna dan perilaku ulat instar terakhir
mirip ulat tanah Agrothis ipsilon, namun terdapat perbedaan yang cukup mencolok,
yaitu pada ulat grayak terdapat tanda bulan sabit berwarna hijau gelap dengan
garis punggung gelap memanjang. Pada umur 2 minggu, panjang ulat sekitar 5 cm.
Ulat berkepompong di dalam tanah, membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon),
berwarna coklat kemerahan dengan panjang sekitar 1,60 cm. Siklus hidup berkisar
antara 30−60 hari (lama stadium telur 2−4 hari). Stadium larva terdiri atas 5
instar yang berlangsung selama 20−46 hari. Lama stadium pupa 8− 11 hari. Seekor
ngengat betina dapat meletakkan 2.000−3.000 telur.
Ulat grayak tersebar luas di Asia, Pasifik,
dan Australia. Di Indonesia, hama ini terutama menyebar di Nanggroe Aceh Darussalam,
Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, Nusa
Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua.
Gejala Serangan
Larva yang masih muda merusak daun dengan
meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas (transparan) dan tulang daun. Larva
instar lanjut merusak tulang daun dan kadang-kadang menyerang polong. Biasanya
larva berada di permukaan bawah daun dan menyerang secara serentak dan
berkelompok. Serangan berat menyebabkan tanaman gundul karena daun dan buah
habis dimakan ulat (Gambar 2). Serangan berat pada umumnya terjadi pada musim
kemarau, dan menyebabkan defoliasi daun yang sangat berat.
Tanaman Inang
Selain kedelai, tanaman inang lain
dari ulat grayak adalah cabai, kubis, padi, jagung, tomat, tebu, buncis, jeruk,
tembakau, bawang merah, terung, kentang, kacang- kacangan (kedelai, kacang
tanah), kangkung, bayam,
pisang, dan tanaman hias. Ulat grayak
juga menyerang berbagai gulma, seperti
Limnocharis sp., Passiflora foetida, Ageratum sp.,
Cleome sp.,
Clibadium sp., dan Trema sp.
DAYA RUSAK DAN KEHILANGAN
HASIL AKIBAT ULAT GRAYAK
Ulat grayak bersifat polifag atau
dapat menyerang berbagai jenis tanaman pangan, sayuran, dan buah-buahan. Hama ini
tersebar luas di daerah dengan iklim panas dan lembap dari subtropis sampai daerah
tropis. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (1993) dalam marwoto 2008,
serangan ulat grayak di Indonesia mencapai 4.149 ha dengan intensitas serangan
sekitar 17,80%. Serangan tersebut menurun pada tahun 1994 menjadi 3.616 ha,
dengan intensitas serangan 14,40% (Badan Pusat Statistik 1994 dalam marwoto
2008).
Kerusakan dan kehilangan hasil akibat
serangan ulat grayak ditentukan oleh populasi hama, fase perkembangan serangga,
fase pertumbuhan tanaman, dan varietas kedelai. Serangan pada varietas rentan
menyebabkan kerugian yang sangat signifikan. Apabila defoliasi daun karena
serangan ulat grayak terjadi pada fase R2 (fase pertumbuhan tanaman berbunga
penuh, pada dua atau lebih buku batang utama terdapat bunga mekar), dan fase R3
(fase pertumbuhan tanaman mulai membentuk polong, terdapat satu atau lebih
polong sepanjang 5 mm pada batang utama) maka kerusakan yang ditimbulkan lebih
besar daripada serangan pada fase R4 (fase pertumbuhan tanaman polong berkembang
penuh, polong pada batang utama mencapai panjang 2 cm atau lebih), R5 (fase
pertumbuhan tanaman polong berisi, polong pada batang utama berisi biji dengan
ukuran 2 mm x 1 mm), dan R6 (fase pertumbuhan tanaman biji penuh, polong pada
batang utama berisi biji berwarna hijau atau biru yang telah memenuhi rongga polong/besar,
biji mencapai maksi- mum) (Sumarno 1993 dalam marwoto 2008). Hasil penelitian Arifin
(1986a) dalam Marwoto (2008) menunjukkan bahwa apabila pada fase R2 dan R3
terdapat paling sedikit 1 ekor ulat/m maka kerusakan daun mencapai 50%. Selain
itu, serangan ulat grayak pada fase pertumbuhan tersebut menyebabkan bunga
banyak yang gugur, sehingga menurunkan jumlah polong yang terbentuk, walaupun
tidak mempengaruhi bobot 100 biji. Berdasarkan hasil penelitian, ambang luka
ekonomi ulat grayak pada R2-R4 rata-rata adalah 2 ekor larva per 1 m baris
tanaman. Oleh karena itu, serangan ulat grayak pada fase R3 perlu diwaspadai,
karena defoliasi pada fase tersebut menyebabkan kerugian hasil yang lebih besar
dibandingkan pada fase V6, R2, R4, dan R5 (Arifin 1986b dalam marwoto 2008).
Marwoto dan Suharsono. 2008. STRATEGI
DAN KOMPONEN TEKNOLOGI PENGENDALIAN ULAT GRAYAK (Spodoptera litura Fabricius)
PADA TANAMAN KEDELAI. Malang: Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian
ULAT KUBIS
Morfologi dan biologi
Serangga dewasa berupa ngengat kecil,
kira-kira 6 mm panjangnya, berwarna coklat kelabu, dan aktif pada malam hari.
Pada sayap depan terdapat tiga buah lekukan (undulasi) yang berwarna putih
menyerupai berlian (bahasa Inggris diamond). Oleh sebab itu serangga ini dalam bahasa
Inggris disebut diamondback moth.
Ngengat P. xylostella tidak kuat terbang
jauh dan mudah terbawa oleh angin. Menurut Harcourt (1954) dalam sastrosiswo et
al 2005, pada saat
tidak m ada angin, ngengat jarang terbang lebih tinggi dari 1,5 m di
atas permukaan tanah. Jarak terbang horizontal adalah 3-4 m. Longevitas (masa
hidup) ngengat betina rata-rata 20,3 hari (Vos 1953 dalam sastrosiswo et al
2005). Ngengat betina kawin hanya satu kali (Harcourt 1957 dalam sastrosiswo et
al 2005).
• Telur
Telur berbentuk telur oval, ukurannya
0,6 mm x 0,3 mm, warnanya kuning, berkilau dan lembek. Ngengat betina
meletakkan telur secara tunggal atau dalam kelompok kecil (tiga atau empat
butir), atau dalam gugusan (10-20 butir) di sekitar tulang daun pada permukaan
daun kubis sebelah bawah (Vos 1953 dalam sastrosiswo et al 2005). Ngengat
betina bertelur selama 19 hari dan jumlah telur rata-rata sebanyak 244 butir.
Lama stadium telur tiga hari (Vos 1953 dalam sastrosiswo et al 2005).
• Larva
Larva berbentuk silindris, berwarna
hijau muda, relatif tidak berbulu,, dan mempunyai lima pasang proleg (Harcourt
1954 dalam sastrosiswo et al 2005). Larva P. xylostella terdiri atas empat
instar (Vos 1953; Harcourt 1957 dalam sastrosiswo et al 2005). Panjang larva
dewasa (instar ke-3 dan 4) kira-kira 1 cm. Larva lincah dan jika tersentuh
akan menjatuhkan diri serta
menggantungkan diri dengan benang halus. Larva jantan dapat dibedakan dari
larva betina karena memiliki sepasang calon testis yang berwarna kuning
(Sastrosiswojo 1987 dalam sastrosiswo et al 2005). Rata-rata lamanya stadium
larva instar kesatu 3,7 hari, larva instar kedua 2,1 hari, larva instar ketiga
2,7 hari, dan larva instar keempat 3,7 hari (Vos 1953 dalam sastrosiswo et al
2005).
• Prapupa dan pupa
Antara larva instar ke-4 dengan
prapupa tidak terjadi pergantian kulit (Harcourt 1954). Panjang pupa rata-rata
6,3-7,0 mm dan lebarnya 1,5 mm (Harcourt 1954). Pupa P. xylostella dibungkus kokon (jala sutera) dan
diletakkan pada permukaan bagian bawah daun kubis. Menurut Vos
(1953) dalam sastrosiswo et al 2005,
lamanya stadium pupa rata-rata 6,3 hari.
• Daur hidup
Lamanya daur hidup P. xylostella di
Segunung (Pacet) pada suhu 16-25 o C rata-rata 21,5 hari (Vos 1953). Menurut
Sastrosiswojo (1987) dalam sastrosiswo et al 2005, daur hidup P. xylostella di KP Margahayu (Lembang) pada
suhu 15,5-20,6 oC rata-rata 22,0 hari (Gambar 2). Telur, larva, pupa, imago.
Tanaman inang dan
gejala kerusakan
P. xylostella merupakan hama utama
tanaman kubis putih dan jenis kubis lainnya seperti kubis merah, petsai, kubis bunga, kaelan, selada air, sawi
jabung, radis, turnip, dan lain-lain. Selain itu, gulma kubis-kubisan yang juga
dapat menjadi inang P. xylostella
adalah Capsella bursapastoris (rumput dompet gembala), Cardamine hirsuta (rumput selada pahit
berbulu), Brassica pachypoda, Nasturtium
officinale, dan Lepidium sp.
(Sastrosiswojo 1987 dalam sastrosiswo et al 2005).
Biasanya hama P. xylostella
merusak tanaman kubis muda. Meskipun demikian hama P. xylostella
seringkali juga merusak tanaman kubis yang sedang membentuk krop jika tidak
terdapat hama pesaingnya, yaitu C.
binotalis. Larva P. xylostella instar ketiga
dan keempat makan permukaan bawah daun kubis dan meninggalkan lapisan epidermis
bagian atas. Setelah jaringan daun membesar, lapisan epidermis pecah, sehingga
terjadi lubang-lubang pada daun. Jika tingkat populasi larva tinggi, akan
terjadi kerusakan berat pada tanaman kubis, sehingga yang tinggal hanya
tulang-tulang daun kubis (Gambar 3). Serangan
P. xylostella yang berat pada tanaman kubis dapat menggagalkan panen
(Sastrosiswojo 1987 dalam sastrosiswo et al 2005).
Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pests of
Crops in Indonesia Revised by P.A.Van der Larn. PT. Ichti
ar Baru-Van Hoeve Jakarta
KUMARAWATI, NI PUTU NIA., I WAYAN SUPARTHA dan KETUT AYU YULIADHI.2013. Struktur Komunitas dan Serangan Hama-Hama
Penting Tanaman Kubis (Brassica oleracea L.). E-Jurnal Agroekoteknologi
Tropika Vol. 2, No. 4, Oktober 2013 Program
Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Udayana
Marwoto dan Suharsono. 2008. STRATEGI
DAN KOMPONEN TEKNOLOGI PENGENDALIAN ULAT GRAYAK (Spodoptera litura Fabricius)
PADA TANAMAN KEDELAI. Malang: Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian
Sastrosiswojo, Sudarwohadi, Tinny S.
Uhan, dan Rachmat Sutarya. 2005. PENERAPAN TEKNOLOGI PHT PADA TANAMAN KUBIS.
Bandung : BALAI PENELITIAN
TANAMAN SAYURAN
Setiawati, W. 2003. Pengendalian Kutu
Kebul Pada Tanaman Cabai . Balai Penelitian Tanaman
Sayuran Lembang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar