Senin, 24 November 2014

hama tanaman hortikultura


ULAT GRAYAK
Biologi Hama
Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom  : Animalia
Filum  : Arthropoda
Kelas   : Insecta 
Ordo   : Lepidoptera
Famili  : Noctuidae
Genus   : Spodoptera
Spesies  : Spodoptera litura F.

Ulat grayak  Spodoptera litura  F. (Lepidoptera: Noctuidae) adalah hama yang sering menimbulkan kerusakan pada pertanaman kedelai di Indonesia, khususnya pada musim kemarau. Serangan ulat grayak pada fase pertumbuhan vegetatif mampu menurunkan hasil sampai dengan 80%, sehingga ulat grayak dipandang sebagai salah satu kendala produksi kedelai. Hama ini tersebar luas khususnya di daerah yang beriklim panas dan lembab, dari subtropis sampai daerah tropis. Informasi luas, intensitas serangan, dan kehilangan hasil karena ulat grayak masih terbatas, dan belum tercatat dengan baik. Pada tahun 2009 di KP Muneng terjadi defoliasi/kerusakan daun dan kehilangan hasil hingga 100%.   Populasi ulat grayak di beberapa sentra produksi kedelai di Jawa Timur, yaitu di kabupaten Jombang, Ponorogo, Pasuruan, dan  Banyuwangi telah berkembang menjadi tahan terhadap insektisida golongan endosulfan dan dekametrin yang digunakan petani secara terus menerus (Marwoto dan Bedjo  1996).



Biologi
Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian datar melekat pada daun (kadang-kadang tersusun dua lapis, berwarna coklat kekuning-kuningan diletakkan berkelompok (masing-masing berisi 25-500 butir). Kelompok telur tertutup bulu seperti beludru yang berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung ngengat betina. Lama stadium  telur 3-5 hari setelah diletakkan          
(Sudarmo, 1992). Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklat-coklatan dan hidup berkelompok. Umumnya larva mempunyai titik hitam
arah lateral pada setiap abdomen.Ulat membuat lubang pada daun. Siang hari bersembunyi dalam tanah (tempat yang lembab) dan menyerang tanaman pada malam hari lama stadium larva 6 – 13 hari (Kalshoven 1981). Pupa berwarna kecoklatan berada dalam tanah atau pasir. Pada bagian ventral, abdomen segmen terakhir pupa jantan, dijumpai dua titik yang agak berjauhan. Titik yang ada di sebelah atas adalah calon alat kelamin jantan  sedang titik yang di bawahnya adalah calon anus. Pupa betina mempunyai dua titik yang saling perdekatan (Sudarmo, 1992).  Larva berkepompong dalam tanah atau pasir. Membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon) berwarna coklat kemerahan dan berkisar 1.6 cm. Lama stadium larva    10 – 14
hari (Erwin, 2000).  Sayap ngengat bagian depan berwarna coklat atau keperak-perakan, sayap
belakang berwarna keputih-putihan dengan bercak hitam . Malam hari ngengat dapat terbang sejauh lima kilometer. Seekor ngengat betina dapat meletakkan 2000-3000 telur (Ardiansyah, 2007). Dengan masa peletakan telur 2 – 6 hari dan lama stadium imago yaittu 5 – 9 hari (Sudarmo, 1992).

EKOBIOLOGI ULATGRAYAK
Dalam sistematika klasifikasi, ulat grayak termasuk dalam ordo Lepidoptera, family Noctuidae, genus Spodoptera dan spesies litura. Hama ini bersifat polifag atau mempunyai kisaran inang yang cukup luas atau banyak inang, sehingga agak sulit dikendalikan. Strategi pengendalian hama yang efektif dapat disusun dengan mem-pelajari bioekologi hama.




Morfologi dan Biologi
Sayap ngengat bagian depan berwarna coklat atau keperakan, dan sayap belakang berwarna keputihan dengan bercak hitam (Gambar 1c). Kemampuan terbang ngengat pada malam hari mencapai 5 km.
Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian dasar melekat pada daun kadang-kadang tersusun dua lapis), berwarna coklat kekuningan, diletakkan berkelompok masing-masing 25−500 butir. Telur diletakkan pada bagian daun atau bagian tanaman lainnya, baik pada tanaman inang maupun bukan inang. Bentuk telur bervariasi. Kelompok telur tertutup bulu seperti beludru yang berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung ngengat betina, berwarna kuning kecoklatan.
Larva mempunyai warna yang ber-variasi, memiliki kalung (bulan sabit) berwarna hitam pada segmen abdomen keempat dan kesepuluh (Gambar 1b). Pada sisi lateral dorsal terdapat garis kuning. Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklatan, dan hidup berkelompok (Gambar 1a). Beberapa hari setelah menetas (bergantung ketersediaan makanan), larva menyebar dengan menggunakan benang sutera dari mulutnya. Pada siang hari, larva bersembunyi di dalam tanah atau tempat yang lembap dan menyerang tanaman pada malam hari atau pada intensitas cahaya matahari yang rendah. Biasanya ulat berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar.
Warna dan perilaku ulat instar terakhir mirip ulat tanah Agrothis ipsilon, namun terdapat perbedaan yang cukup mencolok, yaitu pada ulat grayak terdapat tanda bulan sabit berwarna hijau gelap dengan garis punggung gelap memanjang. Pada umur 2 minggu, panjang ulat sekitar 5 cm. Ulat berkepompong di dalam tanah, membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon), berwarna coklat kemerahan dengan panjang sekitar 1,60 cm. Siklus hidup berkisar antara 30−60 hari (lama stadium telur 2−4 hari). Stadium larva terdiri atas 5 instar yang berlangsung selama 20−46 hari. Lama stadium pupa 8− 11 hari. Seekor ngengat betina dapat meletakkan 2.000−3.000 telur.
Ulat grayak tersebar luas di Asia, Pasifik, dan Australia. Di Indonesia, hama ini terutama menyebar di Nanggroe Aceh Darussalam, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua.
Gejala Serangan
Larva yang masih muda merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas (transparan) dan tulang daun. Larva instar lanjut merusak tulang daun dan kadang-kadang menyerang polong. Biasanya larva berada di permukaan bawah daun dan menyerang secara serentak dan berkelompok. Serangan berat menyebabkan tanaman gundul karena daun dan buah habis dimakan ulat (Gambar 2). Serangan berat pada umumnya terjadi pada musim kemarau, dan menyebabkan defoliasi daun yang sangat berat.
Tanaman Inang
Selain kedelai, tanaman inang lain dari ulat grayak adalah cabai, kubis, padi, jagung, tomat, tebu, buncis, jeruk, tembakau, bawang merah, terung, kentang, kacang- kacangan (kedelai, kacang tanah), kangkung, bayam, pisang, dan tanaman hias. Ulat grayak  juga menyerang berbagai gulma, seperti  Limnocharis sp., Passiflora foetida, Ageratum  sp.,  Cleome  sp.,
Clibadium sp., dan Trema sp.
DAYA RUSAK DAN KEHILANGAN HASIL AKIBAT ULAT GRAYAK
Ulat grayak bersifat polifag atau dapat menyerang berbagai jenis tanaman pangan, sayuran, dan buah-buahan. Hama ini tersebar luas di daerah dengan iklim panas dan lembap dari subtropis sampai daerah tropis. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (1993) dalam marwoto 2008, serangan ulat grayak di Indonesia mencapai 4.149 ha dengan intensitas serangan sekitar 17,80%. Serangan tersebut menurun pada tahun 1994 menjadi 3.616 ha, dengan intensitas serangan 14,40% (Badan Pusat Statistik 1994 dalam marwoto 2008).
Kerusakan dan kehilangan hasil akibat serangan ulat grayak ditentukan oleh populasi hama, fase perkembangan serangga, fase pertumbuhan tanaman, dan varietas kedelai. Serangan pada varietas rentan menyebabkan kerugian yang sangat signifikan. Apabila defoliasi daun karena serangan ulat grayak terjadi pada fase R2 (fase pertumbuhan tanaman berbunga penuh, pada dua atau lebih buku batang utama terdapat bunga mekar), dan fase R3 (fase pertumbuhan tanaman mulai membentuk polong, terdapat satu atau lebih polong sepanjang 5 mm pada batang utama) maka kerusakan yang ditimbulkan lebih besar daripada serangan pada fase R4 (fase pertumbuhan tanaman polong berkembang penuh, polong pada batang utama mencapai panjang 2 cm atau lebih), R5 (fase pertumbuhan tanaman polong berisi, polong pada batang utama berisi biji dengan ukuran 2 mm x 1 mm), dan R6 (fase pertumbuhan tanaman biji penuh, polong pada batang utama berisi biji berwarna hijau atau biru yang telah memenuhi rongga polong/besar, biji mencapai maksi- mum) (Sumarno 1993 dalam marwoto 2008). Hasil penelitian Arifin (1986a) dalam Marwoto (2008) menunjukkan bahwa apabila pada fase R2 dan R3 terdapat paling sedikit 1 ekor ulat/m maka kerusakan daun mencapai 50%. Selain itu, serangan ulat grayak pada fase pertumbuhan tersebut menyebabkan bunga banyak yang gugur, sehingga menurunkan jumlah polong yang terbentuk, walaupun tidak mempengaruhi bobot 100 biji. Berdasarkan hasil penelitian, ambang luka ekonomi ulat grayak pada R2-R4 rata-rata adalah 2 ekor larva per 1 m baris tanaman. Oleh karena itu, serangan ulat grayak pada fase R3 perlu diwaspadai, karena defoliasi pada fase tersebut menyebabkan kerugian hasil yang lebih besar dibandingkan pada fase V6, R2, R4, dan R5 (Arifin 1986b dalam marwoto 2008).

Marwoto dan Suharsono. 2008. STRATEGI DAN KOMPONEN TEKNOLOGI PENGENDALIAN ULAT GRAYAK (Spodoptera litura Fabricius) PADA TANAMAN KEDELAI. Malang: Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian


ULAT KUBIS
Morfologi dan biologi
Serangga dewasa berupa ngengat kecil, kira-kira 6 mm panjangnya, berwarna coklat kelabu, dan aktif pada malam hari. Pada sayap depan terdapat tiga buah lekukan (undulasi) yang berwarna putih menyerupai berlian (bahasa Inggris diamond). Oleh sebab itu serangga ini dalam bahasa Inggris disebut  diamondback moth. Ngengat  P. xylostella tidak kuat terbang jauh dan mudah terbawa oleh angin. Menurut Harcourt (1954) dalam sastrosiswo et al 2005,  pada  saat  tidak m ada angin, ngengat jarang terbang lebih tinggi dari 1,5 m di atas permukaan tanah. Jarak terbang horizontal adalah 3-4 m. Longevitas (masa hidup) ngengat betina rata-rata 20,3 hari (Vos 1953 dalam sastrosiswo et al 2005). Ngengat betina kawin hanya satu kali (Harcourt 1957 dalam sastrosiswo et al 2005).

• Telur
Telur berbentuk telur oval, ukurannya 0,6 mm x 0,3 mm, warnanya kuning, berkilau dan lembek. Ngengat betina meletakkan telur secara tunggal atau dalam kelompok kecil (tiga atau empat butir), atau dalam gugusan (10-20 butir) di sekitar tulang daun pada permukaan daun kubis sebelah bawah (Vos 1953 dalam sastrosiswo et al 2005). Ngengat betina bertelur selama 19 hari dan jumlah telur rata-rata sebanyak 244 butir. Lama stadium telur tiga hari (Vos 1953 dalam sastrosiswo et al 2005).

• Larva
Larva berbentuk silindris, berwarna hijau muda, relatif tidak berbulu,, dan mempunyai lima pasang proleg (Harcourt 1954 dalam sastrosiswo et al 2005). Larva P. xylostella terdiri atas empat instar (Vos 1953; Harcourt 1957 dalam sastrosiswo et al 2005). Panjang larva dewasa (instar ke-3 dan 4) kira-kira 1 cm. Larva lincah dan jika tersentuh
akan menjatuhkan diri serta menggantungkan diri dengan benang halus. Larva jantan dapat dibedakan dari larva betina karena memiliki sepasang calon testis yang berwarna kuning (Sastrosiswojo 1987 dalam sastrosiswo et al 2005). Rata-rata lamanya stadium larva instar kesatu 3,7 hari, larva instar kedua 2,1 hari, larva instar ketiga 2,7 hari, dan larva instar keempat 3,7 hari (Vos 1953 dalam sastrosiswo et al 2005).

• Prapupa dan pupa
Antara larva instar ke-4 dengan prapupa tidak terjadi pergantian kulit (Harcourt 1954). Panjang pupa rata-rata 6,3-7,0 mm dan lebarnya 1,5 mm (Harcourt 1954). Pupa  P. xylostella dibungkus kokon (jala sutera) dan diletakkan pada permukaan bagian bawah daun kubis. Menurut Vos
(1953) dalam sastrosiswo et al 2005, lamanya stadium pupa rata-rata 6,3 hari.

• Daur hidup
Lamanya daur hidup P. xylostella di Segunung (Pacet) pada suhu 16-25 o C rata-rata 21,5 hari (Vos 1953). Menurut Sastrosiswojo (1987) dalam sastrosiswo et al 2005, daur hidup  P. xylostella di KP Margahayu (Lembang) pada suhu 15,5-20,6 oC rata-rata 22,0 hari (Gambar 2). Telur, larva, pupa, imago.


Tanaman inang dan gejala kerusakan
P. xylostella merupakan hama utama tanaman kubis putih dan jenis kubis lainnya seperti kubis merah,  petsai, kubis bunga, kaelan, selada air, sawi jabung, radis, turnip, dan lain-lain. Selain itu, gulma kubis-kubisan yang juga dapat menjadi inang  P. xylostella adalah  Capsella bursapastoris (rumput  dompet gembala),  Cardamine hirsuta (rumput selada pahit berbulu),  Brassica pachypoda, Nasturtium officinale,   dan Lepidium sp. (Sastrosiswojo 1987 dalam sastrosiswo et al 2005).
Biasanya hama  P. xylostella  merusak tanaman kubis muda. Meskipun demikian hama P. xylostella seringkali juga merusak tanaman kubis yang sedang membentuk krop jika tidak terdapat hama pesaingnya, yaitu  C. binotalis. Larva  P. xylostella instar ketiga dan keempat makan permukaan bawah daun kubis dan meninggalkan lapisan epidermis bagian atas. Setelah jaringan daun membesar, lapisan epidermis pecah, sehingga terjadi lubang-lubang pada daun. Jika tingkat populasi larva tinggi, akan terjadi kerusakan berat pada tanaman kubis, sehingga yang tinggal hanya tulang-tulang daun kubis (Gambar 3). Serangan  P. xylostella yang berat pada tanaman kubis dapat menggagalkan panen (Sastrosiswojo 1987 dalam sastrosiswo et al 2005).


Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pests of Crops in Indonesia Revised by P.A.Van der Larn. PT. Ichti
                ar Baru-Van Hoeve Jakarta
KUMARAWATI, NI PUTU NIA.,  I WAYAN SUPARTHA dan KETUT AYU YULIADHI.2013.  Struktur Komunitas dan Serangan Hama-Hama Penting Tanaman Kubis (Brassica oleracea L.). E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika  Vol. 2, No. 4, Oktober 2013 Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Udayana
Marwoto dan Suharsono. 2008. STRATEGI DAN KOMPONEN TEKNOLOGI PENGENDALIAN ULAT GRAYAK (Spodoptera litura Fabricius) PADA TANAMAN KEDELAI. Malang: Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian
Sastrosiswojo, Sudarwohadi, Tinny S. Uhan, dan Rachmat Sutarya. 2005. PENERAPAN TEKNOLOGI PHT PADA TANAMAN KUBIS. Bandung : BALAI  PENELITIAN  TANAMAN  SAYURAN
Setiawati, W. 2003. Pengendalian Kutu Kebul Pada Tanaman Cabai . Balai Penelitian Tanaman 
                Sayuran Lembang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar